Ku pernah
bercerita pada malam, bahwa aku sangat mencintai sang rembulan di kala ia
purnama. Cahaya indah yang bisa dirasakan jauh dari bumi, cahaya yang sangat
mempesona dan menarik hati setiap insan yang melihat. Cahaya itu mampu
dirasakan dari jauh, sejauh jarak antara antar planet, jauh memang. Ku pernah
bertanya pada sang malam, bagaimana aku jika ia tak ada kabar.? Bagaimana aku
jika ia telah memilih hati yang lain.? Ku menunggu jawaban mu wahai pemilik
purnama, dapatkah kau berikan aku satu jawaban dari seribu pertanyaanku wahai
engkau penguasa bintang, jawab aku, wahai sang malam. Terlintas dalam pikiran “Beginikah
kau perlakukan setiap insan yang menunggu jawaban dari pertanyaannya.? Kau
hanya diam dan diam dalam kebisuanmu yang panjang hingga sampai fajar terbit.?”
Hingga
hembusan angin menertawakanku, hanya mampir, dan berbisik “dia telah bersama
yang lain, jangan kau tagih cintamu, jangan kau rampas janjimu, jangan kau buat
penantianmu terluka. Banyak yang menanti kisahmu, banyak yang menunggu senyum
mu. Yaitu dia. Yang begitu tulus menyaingi Fajar, menyejukkan layaknya embun
pagi, sehangat terik mentari, semerdu kicau burung, dan seindah senja, akan
selalu menemanimu bercerita di kemudian hari, bahkan aku sanggup menulis kisahmu
dengan dia” dan ia berlalu dengan cepat, meninggalkan ku di kesendirian malam
gelap. Ingin ku kejar, terlalu cepat, tanpa memberi kesempatanku untuk bertanya
“siapakah sosok fajar dan senja yang mengisi kekosongan hati di kala
gelap...???
Fajar di Tambora |
Senja di Tambora |
TO BE CONTINUE