
‘Hoooreeeee’teriakan
ku seakan berbicara pada surya, seakan ingin bercerita pada awan putih yang
berkeliarann diatas sana, bahwa pencarianku tlah berujung. Akan ku umumkan pada
bintang, akan ku beritakan pada semua yang bertelinga, pada semua yang
mendengar, bahwa aku telah menemukan sosok fajar dan senjaku di tengah penantian
yang begitu usang untuk di perbarui. Sang penulis tak mampu menguraikan rasa
senang ini lewat penanya. Pelukis juga tak sanggup melukis perasaan ini lewat
kanvasnya. Tidak ada yang bisa. Dalam hari, ku lalui waktu bersamanya.
![]() |
Senja di Tambora |
Sore ku
bergumam,‘Apakah kau yakin itu adalah sosok fajar dan senjamu? Sementara kau
masih terbuai oleh bayangan silam?’hingga ku memahami kalimat dari sang sore. Benarkah
Fajar yang ku temukan selalu membuka dunia untuk tetap terang.? benarkah senja
yang ku temukan ini.?
![]() |
Fajar di Tambora |
Tapi apa yang
ku temukan.? Fajarku tidak menerangi hati, ia sudah malas perintahkan surya
untuk tersenyum, senjaku yang sudah malas menghadirkan bintang dan bulan. Aku
benci. Aku malu pada semua yang bertelinga. Awan putih berubah hitam
mendengarkan kisahku. Lagi-lagi hembusan angin mendekati dan menasehati “tak
pernah kau temukan fajar dan senjamu jika kau masih menyimpan luka dalam hati.
Tidak akan pernah. Mereka bahkan enggan singgah dalam hati yang masih ada luka.
Iyaa. Luka lama harus dikubur. Luka lama harus menguap bersamaku. Kau harus
bangkit. Kau harus bisa menjadi fajar dan senja untuknya” seperti biasa, dia
berlalu dengan indah dihadapanku sendiri. Cepat, Tangguh dan Lembut
meninggalkan ku diantara sepi dan sunyinya hari. “Aku akan segera menjadi fajar dan senja untuknya” teriakku dalam
bisunya malam.